Pemikiran Kritis Mahasiswa Harus Disyukuri Bukan Dibungkam dan Ditakuti



Mahasiswa merupakan fase tertinggi dari rantai makanan dalam dunia pendidikan. Maksudnya, Mahasiswa merupakan tahapan tertinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya. sebagai individu yang berada pada puncak rantai makanan, Mahasiswa memiliki kebebasan dalam menentukan sikap, kebebasan berpendapat, kebebasan berkarya.

Karena identik dengan hal seperti itu, mahasiswa dituntut untuk menjadi mesin gerak perubahan sosial dan pengontrol gerak cepat dinamis yang terjadi di kehidupan masyarakat. Tentu itu adalah tanggung jawab berat yang harus dilakukan oleh mahasiswa.

Sering kita dengar bahwasanya "seorang pemuda (mahasiswa) bukan hanya generasi penerus dan peniru". Poin dari pribahasa itu merefleksikan bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab lebih untuk menciptakan kreativitas yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Maka patut kiranya mahasiswa harus dibekali metodologi berpikir untuk mencapai satu titik solusi dalam menghadapi persolan sosial. Sehingga dengan bekal tersebut, mahasiswa betul-betul menjadi control sosial yang baik dalam kehidupan masyarakat.

Bekal dari metodologi berpikir itu semata-mata untuk menguji daya nalar berpikir mahasiswa, sehingga mampu mencipatakan pemikiran yang kritis terhadap segala sesuatu, karena dengan modal itu mahasiswa akan mampu menganalisa dan menciptkan peradaban baru dalam sosial dan budaya yang terus mengkikis masyarakat.

Mungkin pembaca akan bertanya. Dimana mahasiswa harus menguji daya berfikirnya untuk sampai pada pemikiran kritis itu.? Tentu jawaban itu ada pada dua hal, yang pertama ada pada ruang kampus kuliah, dan yang kedua organisasi sebagai wadah gerakan dan intlektualitas dari seorang mahasiswa.

Mari mengulas secara tuntas pada poin pertama, kenapa harus menguji nalar kritis kita di kampus. Kampus adalah tempat dimana tradisi ilmiah itu melekat, teori-teori dari seorang dosen tersampaikan di ruang kuliah. Oleh karena itu, intraksi dosen dan mahasiswa dalam dunia akademik tidak hanya sampai pada doktrinasi dalil yang terucap dari seorang dosen, namun bagaiaman dalil itu harus diuji dengan proses dialektika antara mahasiswa dan dosennya. Sehingga dari proses itu tercipta pengetahuan dan solusi baru untuk menjadi modal mahasiswa sebagai mesin gerak dan control sosial tersebut.

Pesoalannya adalah daya nalar kritis mahasiswa yang tidak memadai atau ada ancaman yang menjelma, yang biasanya terjadi dari beberapa cerita mahasiswa. Ruang kelas yang selayaknya dijadikan temapat dialektika pikiran malah didominasi oleh seorang dosen untuk mengucapkan dalil pengetahuannya. Akibatnya mahasiswa hanya mendengarkan tidak bisa mendiskusiakan, ironisnya saat mahasiswa mencoba menyampaikan argumentasinya malah dianggap sebagai perilaku yang tidak beretika. Ini mungkin contoh kecil yang banyak terjadi.

Poin kedua yang bisa dijadikan tempat mengasah gerakan dan intlektual adalah organisasi. Kenapa organisasi, karena oragnisasi adalah bagian dari kampus untuk bagaiman mahasiswa bisa mengembangkan kreatifitasnya. Sebenarnya, oragnisasi lebih kompleks tidak hanya mengasah intlektual untuk menciptakan daya nalar kritis saja. Namun, juga mengimplementasikan dalam bentuk gerakan nyata.

Di dalam organisasi, baik intra maupun ekstra yang ada di kampus mempunyai budaya-budaya ilmiah. Yang juga terlaksana meskipun dalam bentuk non formal, biasanya dikenal dengan budaya ngopi santai di pojok kampus atau bahkan di kantin kampus. Untuk mendiskusikan hal-hal yang sering tidak kita bahas di ruang kampus dan bahkan kita anggao sesuatu yang tidak penting.

Sangat disyangkan organisasi banyak tidak dimanfaatkan oleh mhasiswa, ironisnya organisasi hanya dijadikan tempat menitip nama tanpa ikut andil dalam budaya-budaya ilmiah yang ada di internal organisasi.

Dua hal tersebut mungkin sudah memberikan stimulus untuk melihat realitas kehidupan mahasiswa, harapan penulis tulisan ini bisa memicu kajian lebih dalam lagi, agar bisa menelusuri lebih jauh betapa bobroknya kampus membungkan kehidupan mahasiswa dan mahasiswa yang hanya diam tidak pernah perduli terhadap persoalan sosial.

Penulis: Fathol Arifin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curahan Hati Untuk Nahkoda Baru PMII UNZAH Genggong Probolinggo

Ruang Riung Mahasiswa pada Tempat Terbuka

PMII DAN KEPAKARAN KEILMUANNYA