Pendidikan dalam Kotak
Kotak memiliki empat sisi yang saling nenutupi satu dengan yang lainnya.
Maka yang dimaksud pendidikan dalam kotak ini adalah dibatasinya tujuan
dan geraknya suatu pendidikan oleh empat sisi kotak ini. Hal ini
disadari atau tidak, sudah banyak terjadi di lembaga-lembaga pendidikan
di indonesia. Empat sisi yang saling menutupi ini adalah : liberalisme,
kapitalisme, positivisme, dan pragmatisme.
Pertama, liberalisme. Di berbagai institusi pendidikan terjadi liberalisasi pendidikan yang berakar pada filsafat ekonominya Adam Smith lewat karyanya 'Wealth Of Nation'. Filsafat ekonomi liberalisme bertumpu pada tiga keyakinan : pertama, kebebasan individu (personal liberty) ; kedua, pemilika pribadi (private property) ; ketiga, inisiatif individu serta usaha swasta (private enterprise). Hal ini tentunya memiliki sisi terang dalam kehidupan. Namun juga tak bisa dihindari sisi gelap dari liberalisme. Sisi gelap dari liberalisme ini adalah terbentuknya budaya kompetisi dalam kehidupan ekonomi, sehingga kalimat yang sudah lumrah kita dengar "yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin", hal ini benar-benar terjadi karena sisi gelap liberalisme tadi. Budaya kompetisi ini juga sudah merembat dalam dunia pendidikan. Di dunia pendidikan, dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, kita sudah dibiasakan dengan budaya kompetisi. Meskipun budaya kompetisi dalam pendidikan dinilai sebagai sesuatu yang baik, tapi kita juga perlu melihat sifat dasar dari kompetisi, yaitu adanya orang-orang pemenang dan pecundang, yang mana dengan adanya pemenang dan pecundang, hal ini amat sangat memicu adanya dominasi sesama manusia.
Yang kedua adalah kapitalisme. Berkembangnya kapitalisme ditandai dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang memproduksi berbagai macam barang. Dan dari hal ini lembaga pendidikan pun disulap seperti organisasi ekonomi. Dengan kata lain, relasi sosial di sekolah merefleksikan relasi sosial sebuah produksi. Misalnya, guru memiliki otoritas untuk menentukan tujuan dan aktivitas kelas bagi muridnya, sebagaimana manajer perusahaan yang punya otoritas untuk menyusun agenda dan tujuan produksi ekonomi bagi para buruh. Lebih jauh dari itu, murid dan buruh dimotivasi oleh penghargaan eksternal, murid dengan nilai rapor dan buruh dengan gaji. Murid teralienasi dari hasil dan proses belajar, seperti halnya para buruh yang teralienasi dari hasil dan proses aktivitas kerjanya sendiri.
Yang ketiga adalah positivisme, dalam perspektif teori kritis,
positivisme adalah bentuk baru yang paling efektif dari ideologi
kapitalisme dan ia mempunyai investasi dalam apa yang disebut Horkheimer
dengan "eclipse of reason" (judul buku). Positivisme telah membuat
banyak sesuatu dalam kehidupan menjadi sesuatu yang wajar, karena
positivisme berpandangan bahwa semua ilmu pengetahuan adalah 'bebas
nilai', padahal anggapan ini bukankah sebuah nilai? Entahlah. Dalam
dunia pendidikan, positivisme telah berhasil mendegradasikan fakultas
akal yang kritis peserta didiknya, karena semua ilmu pengetahuan yang
dipelajari di dunia pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang siap saji.
Yang keempat adalah pragmatisme. Saat ini ada anggapan kuat
di masyarakat kita bahwa sekolah identik dengan mencari kerja.
Pertimbangan utama orang tua menyekolahkan anaknya adalah agar kelak
mendapatkan pekerjaan yang memadai sesuai dengan investasi yang telah
ditanamkan di sekolah. Hal ini juga didukung oleh lembaga pendidikan
yang senantiasa memamerkan lulusannya yang sukses dalam pekerjaan.
Padahal pendidikan seharusnya lebih mementingkan nilai-nilai
etis-humanistik, yang tentunya berbeda jauh dengan ideologi pasar yang
lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan menekankan
kompetisi dibanding koperasi.
Demikianlah apa yang dimaksud pendidikan dalam kotak, yang
dari keempat sisinya saling menutupi satu dengan yang lainnya.
Penulis: A.Q
Komentar
Posting Komentar